Darasaksara.com – MAMUJU – Mahkamah Konstitusi menolak lima perkara yang menggugat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).
Kelima perkara yang ditolak tersebut adalah Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023, 50/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, dan 40/PUU-XXI/2023.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Karang Taruna Kabupaten Mamuju Hairil Amri, SH mengatakan, putusan yang dimaksudkan adalah uji formil pada UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang penetapan Perpu Cipta Kerja.
Dalam penolakannya, MK membenarkan penggunaan hak konstitusional Presiden untuk menerbitkan Perpu, sebab hal ihwal kegentingan memaksa. Meski demikian, hal ini harus dilihat sebagai kesatuan dari Putusan MK yang sebelumnya telah menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang ciptakerja “Inkonstitusional Bersyarat” dan diberikan waktu selama 2 tahun untuk memperbaiki sesuai dengan syarat yang ditetapkan MK.
Menurutnya, alih-alih memperbaiki UU Ciptaker yang telah dinilai cacat formil oleh MK, DPR dan Presiden justru mengambil langkah hukum dengan mengubah UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang – undangan menjadi UU Nomor 13 Tahun 2022 yang di dalamnya telah memuat penggunaan metode Omnibuslaw tepatnya pada pasal 42 A yakni penggunaan dalam penyusunan suatu rancangan peraturan perundang – undangan harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan.
Lebih jauh, Hairil menilai hal tersebut merupakan akal-akalan hukum, untuk memaksakan penggunaan metode Omnibus Law dalam pembentukan UU, atau memaksakan UU Ciptaker berlaku. Pada akhirnya dengan dibuatnya UU Nomor 13 Tahun 2022 membuat putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 tidak relavan lagi. Atau dengan istilah sederhananya mengakali putusan Aquo dan disini pokok persoalannya.
Selain itu, pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti UU telah diatur dalam pasal 22 ayat (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan PERPU. Perihal kegentingan memaksa, tidak boleh dimaknai secara subyektif oleh Presiden. Sebab akan terjadi potensi kesewenangan dalam hal menafsir. Untuk itu beberapa pakar hukum termasuk Bagir Manan berpendapat bahwa kewenangan Presiden PERPU adalah kewenangan luar biasa di bidang perundang-undangan.
Sedangkan kewenangan ikut membentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden merupakan kewenangan biasa. Dengan kata lain, Perpu adalah kediktatoran yang dibenarkan oleh hukum (justified dictatorship).
Hairil menambahkan bahwa, dalam perspektif lain, Clinton Rossiter menyebut Perpu sebagai constitutional dictatorship, kediktatoran atas dasar konstitusi. Meskipun demikian tidak dibenarkan pula penggunaan kekuasaan secara berlebihan bahkan menjadi pembenaran pada penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power, arbitrary powers).
Menjawab hal tersebut, khusunya unsur obyektif yang harus dipenuhi dalam Pembentukan PERPU. MK telah memberikan ukuran obyektif pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Dalam pertimbangannya pembuatan PERPU memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden. Meski demikian, tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden. Penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif, dengan demikian Perpu diperlukan apabila ;
1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan, (2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum (3) Keberadaan UU dianggap tidak memadai. Ini adalah Kekosongan hukum, yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
“Putusan MK pada akhirnya memberikan parameter hukum untuk memberi makna terhadap ketidaktegasan “hal ihwal kegentingan memaksa”. Tetapi Putusan ini belum memberikan penjelasan konkrit tentang maksud kegentingan yang memaksa,” terangnya,” terangnya.
Putusan tersebut hanya memberikan parameter pada terjadinya kekosongan hukum, alih-alih memberi makna pada Point (1) ‘tentang keadaan dan kebutuhan mendesak”. Terlebih putusan tersebut tidak dimuat lebih lanjut oleh Peraturan Perundang-Undangan. Persoalan, keduanya ya ini, mesti ada tafsir objektif yang konkrit terkait berlakunya Perpu.
Terlepas dari analisis saya ini, masih terdepat pendapat ahli yang berbeda tentang materi muatan Perpu, sederhananya sejalan dengan UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 11 yang menyatakan materi muatan Perpu harus sama dengan materi muatan Undang-undang,” Terang Hairil.
Hairil menyebutkan, Jimly menjelaskan, bahwa secara subtansi PERPU merupakan Undang-Undang dalam arti materil sebab subtansi norma yang terkandung didalamnya adalah materi Undang-Undang bukan materi peraturan pemerintah.
Inilah urgensi konkreatisisasi terhadap hal ihwal “kegentingan yang memaksa” secepatnya harus dimuat dalam Perundang-undangan agar ketaatan terhadap asas-asas konstitualisme serta asas-asas negara hukum dapat dilaksakan.
Dengan demikian, kita berharap kedepan Indonesia terhindar dari apa yang disebut “constitution without constitutionalisme”. Kesimpulannya, terhadap Putusan MK yang telah menolak uji formil terhadap UU NO 6 TAHUN 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja adalah inkontinensi terhadap putusan sebelumnya,” pungkas Hairil.
[Faidah]
Komentar