Peran Perempuan Di Parlemen Dalam melihat Inklusivitas Afirmative Action Dalam Persfektif Aktivis Perempuan.

Opini157 Pembaca

Darasaksara.com – OPINI – Membincang perempuan, seolah tak ada habisnya. Ia merupakan diskursus yang sangat menarik, baik ditinjau dari segi sosio cultural, maupun dalam keterlibatannya pada ranah politik.

Disadari atau tidak, kondisi dewasa ini belum adanya ruang dan pendidikan politik yang memadai untuk bekal perempuan berkecimpung dalam dunia politik.Sehingga,menyebabkan keterbelakangnya pengalaman politik perempuan dalam berkarir. Hal ini dapat kita lihat keadaan di Daerah kita sendiri terkhusus di di Sulawesi Barat.

Kita tak dapat menutup mata bahwa, partai politik, pemerintah, lembaga perwakilan rakyat dan lembaga penyelenggara pemilu begitu banyak didominasi oleh laki-laki.Sehingga, semua kebijakan publik yang melalui proses politik begitu mendominasi.

Sementara, ketika kita merujuk pada UUD bahwa politik merupakan hak setiap warga Negara. Namun, disaat yang sama, inklusivitas afirmative action belum menjawab keleluasaan untuk berpolitik dan perempuan masih terpojokkan untuk dapat mewakili aspirasi masyarakat dan perempuan itu sendiri.

Wacana afirmative action 30 persen perempuan harus hadir dalam legislatif, tentu perlu dilihat dari segala sisi. Ini bisa menjadi peluang dan bisa menjadi boomerang. Bukan tanpa alasan, hal ini bisa kita lihat atas sejumlah fakta di lapangan bahwasanya
Afirmatif Action ini justru membuat partai politik membabi buta bahkan dapat dikatakan mengeksplotasi perempuan itu sendiri demi memenuhi persyaratan partai melibatkan perempuan tanpa memperhatikan hak dan kewajiban politiknya.

Sementara, kehadiran perempuan dalam partai politik, menyisahkan sejumlah pertanyaan, dimana proyeksi apa saja yang didapatkan ketika mereka (perempuan) berada dalam kepengurusan tersebut ?. Disaat yang sama, partai politik belum mampu memberikan pendidikan politik yang memadai bagi perempuan. Namun, kita tidak bisa menitik beratkan kepada patrai politik saja. Sebab, bicara pendidikan politik yang mengakar adalah suatu hal yang sistemik bukan sesuatu yang instan dikerjakan dan untuk mewujudkan, perlu di kerjakan secara “GOTONG ROYONG”.

Perempuan sudah terlampau jauh tidak dilibatkan dalam persoalan politik, sehingga tidak memiliki pengalaman, kepercayaan diri, dan tidak memiliki keberanian. Padahal kita sudah dihadapkan hal ini sudah sangat lama. Dari fenomena tersebut, mulailah bermunculan aktivis, feminis perempuan yang menyadari ini harus diluruskan. Karena harapan bersama ialah terwujudnya keseimbangan politik dan tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sementara, yang kami maksud peluang atas hadirnya perempuan dalam panggung politik tentu sangatlah penting. Eksistensi mereka dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok perempuan dengan mewakili, mengawal dan mempengaruhi agenda dan proses pembuatan kebijakan, serta turut serta dalam proses pembangunan.

Selain itu, kehadiran mereka (perempuan) dalam politik tentu harus dibekali dengan sumber daya yang mumpuni, agar dalam menentukan
kebijakan strategi politik di parlemen betul – betul terlihat kualitasnya.

Dengan sumber daya manusia yang mumpuni, maka tentu akan meningkatkan partisipasi politik dan tingkat
keterwakilan perempuan di parlemen melalui berbagai pendidikan, pemberdayaan, dan mitra politik serta meningkatkan tindakan afirmatif yang konsentrasi terhadap issue keadilan sekaligus mengakomodasi kepentingan perempuan,
Bangsa dan rakyat yang lebih adil sebagaimana yang termaktub dalam sila ke lima Pancasila Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Berangkat dari etape sejarah, peran dan kontribusi perempuan terhadap bangsa tentu tak dapat dinapikkan. Hal ini bisa kita lihat atas eksistensi sejumlah organisasi perempuan seperti di era 1950 -an organisasi progresif pada masanya salah satu diantaranya Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang sebelumnya dikenal dengan
Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang berdiri tanggal 4 Juli 1950, di Semarang. Meski organisasi Gerwani ini tak jarang mendapat tudingan “hitam putih” atas kegagalan dalam membaca sejarah tanpa melihat kontribusinya. Tak hanya itu, sejumlah organisasi perempuan pra dan pasca kemerdekaan yang punya peranan penting dalam perjalanan Bangsa dan Negara begitu banyak. Sehingga disitulah kita bisa melihat bahwa perempuan memiliki kekuatan yang begitu besar.

Adalah sebuah hal yang patut disyukuri, dewasa ini dapat kita lihat bahwasanya peran dari perempuan dalam politik dan kelembagaan structural, sudah mulai banyak bermuculan baik di lokal maupun Nasional. Mulai dari Mentri, Kepala Daerah, dan Anggota legislatif.

Hal ini membuktikan bahwa perempuan mampu memberikan corak, mereka tak hanya mampu berkutat dalam ranah domestik, namun perempuan bisa berperan di ranah sosial politik

Meski demikian, masih ada sejumlah pertanyaan apakah sudah benar terwujud keseimbangan politik yang kita harapkan?

Jika ingin bicara jujur, realitanya perempuan yang mendapat akses degan baik dalam politik mereka yang notabenenya sudah punya power melalui warisan (politik dinasti,anak pejabat), mereka yang mendapat sokongan dari corporat atau lahir dari rahim konglomerat.

Masih sangat sulit kita menemukan mereka yang benar – benar terlahir langsung dari kalangan aktivis atau mereka yang berasal dari masyarakat lapisan bawah.

Catatan ini tentu bukanlah suatu hal yang final. Kami masih menaruh harapan bahwa perempuan memiliki potensi yang sama untuk bisa berkiprah dalam ranah politik.
Untuk itu, kita tak boleh ketinggalan untuk berbenah dalam membenahi diri dengan kekuatan intelektual yang mumpuni.

Kita memiliki kewajiban yang sama dalam mewujudkan keadilan demi tercapainya apa yang disebut dengan civil socity.

Mamuju, 3 April 2023

As’Addiah (Sekertaris GMNI Cab. Mamuju).

Merdeka !!!

Saran dan kritik yang sifatnya konstruktif, tentu kami sangat butuhkan demi lahirnya karya – karya yang lebih baik selajutnya. Saudara (i) dapat mengirim melalui alamat email penulis:

asaddiahsarji001@gmail.com

Komentar