oleh

Tanah Lapang

-Sosbud-127 Pembaca

Darasaksara.com – OPINI – Adhi Riadi – Tiba – tiba saja terbesit dalam pikiran Sumardi, (29), salah seorang pemuda pengagguran di kota itu tentang sebuah icon kota yang akan hilang.

Apakah icon kota itu masih akan bertahan? Atau malah berkembang menjadi sesuatu yang sama sekali baru ?,” Sumardi membatin saat menyaksikan sebuah tanah lapang yang dulu menjadi tempat ia bermain bola sontak dipagari.

Tak biasanya dia melihat pemandangan seperti itu, sejumlah orang yang diduga adalah para pekerja proyek memulai aktivitasnya.

“Sepertinya akan ada mega proyek di tanah lapang dalam kota ini ?,” Gumam Sumardi. Dia tak bisa membayagkan jika tempat yang baginya sangat bersejarah itu, harus berubah dengan wajah yang baru.

Atas apa yang menjadi kekhawatirannya, Sumardi kemudian memutuskan untuk menemui  Zul, kawan lamanya saat masih aktif bermain sepak bola semasa mereka masih duduk di bangku SD beberapa tahun silam,”. Apakah lapangan itu akan menjadi tempat baru ya ?, kerena tadi saya melihat sudah dipagari oleh beberapa orang,”.Tanya Sumardi.

“Ah kamu ini ketinggalan informasi, lapangan yang dulu semasa SD kita tempati bermain bola itu, diatasnya nanti akan beridiri bangunan megah,” jawab Zul dengan santai.

“Tapi, bukankah itu adalah salah satu icon di kota kita, dan punya nilai history tersendiri Zul ?,”. Sumardi makin penasaran.

“Ya terus, kalau dia punya nilai history kau mau apa? Itukan bukan milik kita,” Zul menimpali kawannya dengan nada sedikit serius.

“Menurutku harus tetap dipertahankan, sebab disana banyak kenangan, nilai sejarah yang diatasnya tak harus berdiri bangunan mewah,”. Sumardi sepertinya belum bisa menerima atas rencana pembangunan di lapangan itu. 

“Belum lagi, tempat itu sudah dikenal luas oleh masyarakat sebagai salah satu icon kota kita,”.

“Otakmu dari dulu tidak maju – maju Sumardi, untuk apa bicara nilai sejarah dan kenangan kalau di tempat itu penting didirikan sebuah bangunan demi keindahan kemajuan Daerah?,”. Zul terdengar meledek.

“Memangnya bangunan apa yang akan berdiri diatas tanah lapang itu ?,”. Sumardi semakin penasaran.

“Katanya Rumah Sakit,” jawab Zul singkat.

“Untuk apa rumah sakit dibangun di tengah kota?, memangnya tidak ada tempat lain agar tak menghilangkam yang sudah ada sejak dahulu ?,” Sumardi semakin kristis pada Zul.

“Menurutku, tak perlu ada pembangunan jika harus menghilangkan icon kota yang sudah cukup lama, sebab icon kota adalah simbol eksistensi budaya,”. Sumardi masih terus mempertahankan alasan untuk menolak rencana pembangunan rumah sakit pada tempat yang baginya menyimpan sejarah.

“Kawan, tanah lapang itu bukan milik siapa siapa, tapi milik salah satu institusi Negara, jadi wajar mereka mau bangun apa diatasnya?,”. Zul menjelaskan bahwa lapangan itu adalah milik salah satu institusi Negara.

“Hadde… Sejak kapan Negara punya tanah?, bukankah yang pertama kali membuka dan menggarap lahan, termasuk tanah lapang itu adalah para leluhur di kota ini?,” tegas Sumardi.

“Tapi itulah kenyataannya, mereka yang katanya punya hak atas tanah itu memilih membangun rumah sakit ketimbang harus merawat icon yang sudah ada itu,” kata Zul pada Sumardi.

Mendengar itu, Sumardi hanya mampu melampiaskan kekecewaannya atas rencana pembagunan Rumah Sakit di Tanah Lapang tersebut dengan celoteh tak jelas.

“Itulah susahya, kita yang tak punya apa – apa ini dalam melawan relasi kuasa hanya mampu meratapi yang akan terjadi. Sementara mereka yang ada di gedung yang tak jauh dari tanah lapang itu hanya diam saja, setau saya mereka dipilih oleh rakya dan punya cukup power harus punya keberanian untuk bicara,”.  Sumardi mulai ngelantur.

“Hei Sumardi, jangan salahkan siapa – siapa, sebab pemilik tanah yang punya keinginan atas rencana itu,”Zul menimpali kawannya.

“Nenek moyang dari mana mereka pernah membuka lahan di kota ini, lalu mengklaim bahwa itu milik mereka?,” Sumardi semakin kesal.

“Sudahlah kawan, kita harus tetap terima bahwa nanti disana akan berdiri sebuah rumah sakit yang berfasilitas lengkap dan menjadi icon kota kita,” Zul kembali membuat kawannya semakin memanas.

“Ia, rumah sakit itu pula nantinya yang akan dihuni oleh orang – orang bermental rusak,” ujar Sumardi dengan kesal.

“Maksud kamu bermental rusak?,”.  Zul mulai kebingungan mendengar ocehan kawannya.

“Iya bermental rusak, sebab tidakkah bermental rusak jika pembangunan selalu mengabaikan sisi history sebuah wilayah. Belum lagi dengan yang kau sebut akan dilengkapi dengan fasilitas maha mewah, tentu sulit diakses oleh masyarakat sekelas seperti saya ini,” Sumardi meninggalkan Zul dalam keadaan emosi.

Sementara Zul hanya tertunduk diam, ia seolah memikirkan alasan Sumardi menolak pembangunan rumah sakit di tanah lapang itu cukup rasional.

Komentar